Selamat Datang di Dudul.com

Selamat Membaca dan Semoga Bermanfaat,^^

Sabtu, 09 Juli 2011

Pendidikan Dasar untuk Semua

Dalam 20 tahun terakhir Indonesia telah mengalami kemajuan di bidang pendidikan dasar. Terbukti rasio bersih anak usia 7-12 tahun yang bersekolah mencapai 94 persen. Meskipun demikian, negeri ini masih menghadapi masalah pendidikan yang berkaitan dengan sistem yang tidak efisien dan kualitas yang rendah. Terbukti, misalnya, anak yang putus sekolah diperkirakan masih ada dua juta anak.
Indonesia tetap belum berhasil memberikan jaminan hak atas pendidikan bagi semua anak. Apalagi, masih banyak masalah yang harus dihadapi, seperti misalnya kualifikasi guru, metode pengajaran yang efektif, manajemen sekolah dan keterlibatan masyarakat. Sebagian besar anak usia 3 sampai 6 tahun kurang mendapat akses aktifitas pengembangan dan pembelajaran usia dini terutama anak-anak yang tinggal di pedalaman dan pedesaan.
Anak-anak Indonesia yang berada di daerah tertinggal dan terkena konflik sering harus belajar di bangunan sekolah yang rusak karena alokasi anggaran dari pemerintah daerah dan pusat yang tidak memadai. Metode pengajaran masih berorientasi pada guru dan anak tidak diberi kesempatan memahami sendiri. Metode ini masih mendominasi sekolah-sekolah di Indonesia. Ditambah lagi, anak-anak dari golongan ekonomi lemah tidak termotivasi dari pengalaman belajarnya di sekolah. Apalagi biaya pendidikan sudah relatif tak terjangkau bagi mereka.

Jumat, 08 Juli 2011

Para Lansia (Lanjut Usia) Sekolah Lagi


Pendidikan tidak hanya terhenti hanya sampai lulus dari SD (Sekolah Dasar), SMP (Sekolah Menengah Pertama), SMA (Sekolah Menengah Atas), atau lulus dari perkuliahan. Karena ilmu tidak hanya terhenti sampai disitu. Manakala dia akan terus maju dan berkembang. Selama kita hidup didunia, selama itu pula kita masih harus belajar, belajar dan menimba ilmu.
Usia tidak menutup kemungkinan untuk kita terus belajar. Jangan jadikan usia yang semakin bertambah tua untuk sebuah alasan tidak mau menambah ilmu. Dengan alasan, “sudah tua tidak bisa meresap ilmu ke otak lagi”. Jika kita mempunyai niat yang kuat dan keinginan keras untuk melangkah maju, pasti kita dapat melakukan semua itu.
Lihat saja warga lanjut usia (Lansia) yang berada di Yogyakarta, mereka semua kembali ke sekolah dengan usia mereka yang rata-rata 55 tahun keatas. Sebuah sekolah khusus warga lanjut usia yang diberi nama Golden Geriatric Club (GCC) didirikan oleh Yayasan Budi Mulia Dua ini bertujuan untuk memberdayakan warga lanjut usia yang berada di DI Yogyakarta khususnya. Sekolah ini akan mulai beroperasi pada pekan ini. Dengan kelas yang dibuat dalam ukuran kecil, yaitu hanya 10 orang disatu kelompok. Agar pembelajaran yang berlangsung dapat berjalan efektif.
Amien Rais, mantan Ketua Partai Amanat Nasional (PAN) dan selaku penasihat GCC mengatakan, “Selama ini, belum ada program pendidikan untuk kaum lanjut usia, padahal mereka masih punya kemampuan untuk belajar”. Dari penuturan beliau, kita dapat melihat bahwa usia bukanlah halangan untuk tidak belajar dan terus mengembangkan diri.
Dengan adanya pendirian sekolah ini, para lansia dapat melakukan kegiatan yang positif dan mengembangkan jaringan. “Karena kerap kali warga para lanjut usia ini dianggap tidak berdaya dan hanya menjadi beban bagi lingkungannya, padahal, mereka masih mempunyai kemampuan dan kapasitas untuk berkarya,” tutur Siti seorang Direktur Perguruan Budi Mulia Dua.
Di sekolah ini, mereka tidak diajarkan seperti apa yang kita terima waktu SD, SMP, SMA atau perkuliahan. Disekolahan ini, para lansia harus menyiapkan pertanyaan dari rumah dan nantinya guru akan menerangkan sesuai pertanyaan mereka. Ada juga mata pelajaran komputer dan internet. Di mata pelajaran ini, mereka diajari membuat dan mengoperasikan jaringan sosial facebook. Sedangkan di mata pelajaran gaya hidup sehat, sejumlah dokter ahli yang telah diundang akan memberi materi mengenai persiapan dan atisipasi degeneratif seperti kepikunan dan penyakit persendian.
Merupakan sebuah program pendidikan yang unik. Selain mengedepankan teknologi, juga perduli terhadap kesehatan. Sekolah ini menjadikan para lansia untuk bersikap mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Sehingga mereka tidak akan dianggap lagi tidak berdaya dan hanya menjadi beban bagi lingkungannya.
Suatu langkah bagus yang telah dilakukan pada para lansia di DI Yogyakarta. Lalu bagaimana dengan para lansia di Jakarta atau di daerah-daerah lainnya?. Apakah hanya akan dibiarkan saja? Diabaikan saja?. Dan menjadikan para lansia tersebut sebagai sosok yang tak berdaya dan hanya menjadi beban bagi lingkungannya. Marilah kita semua bersama-sama untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Dengan mencontoh apa yang telah dilakukan di DI Yogyakarta. Tidak salahnya untuk mencontoh hal-hal yang baik untuk kemajuan bersama. 

Sumber :
http://edukasi.kompas.com/read/xml/

Rabu, 06 Juli 2011

Rumah Singgah Bagi Anak Jalanan

“Pak….., tolong berikan saya duit untuk beli makan”, begitulah kata yang keluar dari mulut anak kecil berpakaian kumal yang tak seharusnya berada di jalanan. Inilah sekelumit tentang nasib anak Indonesia. Tragis dan memilukan melihat banyak anak-anak harapan bangsa yang menghabiskan waktunya di jalanan dan  bukan bermain di halaman  rumahnya. Sebuah tragedi zaman ini! Entah siapa yang salah, yang jelas anak-anak tersebut tidak meminta dilahirkan untuk menjadi pengemis.
Sejak krisis tahun 1998, kegiatan anak jalanan di indonesia semakin meningkat, mulai di alun-alun, bioskop, jalan raya, simpang jalan, stasiun kereta api, terminal, pasar, pertokoan, dan mall. Kini, sosok anak-anak di indonesia tampil dalam kehidupan yang kian tak menggembirakan. Kondisi anak-anak yang kian terpuruk sudah bisa diliihat dari tampilan fisiknya saja.

Siapa saja sih yang disebut anak jalanan?
Anak jalanan adalah seseorang yang masih belum dewasa (secara fisik dan phsykis) yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan dengan melakukan kegiatan-kegiatan untuk mendapatkan uang guna mempertahankan hidupnya yang terkadang mendapat tekanan fisik atau mental dari lingkunganya.  Umumnya mereka berasal dari keluarga yang ekonominya lemah. Anak jalanan tumbuh dan berkembang dengan latar kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif.
Kasus-kasus kekerasan (fisik, psykologis, maupun seksual) yang dialami oleh anak jalanan hingga terungkap ke publik hanyalah sebuah fenomena “gunung es” dari kasus-kasus kekerasan yang sebenarnya sering terjadi di dalam kehidupan anak-anak jalanan. Oleh karena itu, tidaklah terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa anak jalanan senantiasa berada dalam situasi yang mengancam perkembangan fisik, mental dan sosial bahkan nyawa mereka. Di dalam situasi kekerasan yang dihadapi secara terus-menerus dalam perjalanan hidupnya, maka pelajaran itulah yang melekat dalam diri anak jalanan dan membentuk kepribadian mereka.
Ketika mereka dewasa, besar kemungkinan mereka akan menjadi salah satu pelaku kekerasan. Tanpa adanya upaya apapun, maka kita telah berperan serta menjadikan anak-anak sebagai korban tak berkesudahan. Menghapus stigmatisasi di atas menjadi sangat penting. Sebenarnya  anak-anak jalanan hanyalah korban dari konflik keluarga, komunitas jalanan, dan korban kebijakan ekonomi permerintah yang tidak becus mengurus rakyat. Untuk itu kampanye perlindungan terhadap anak jalanan perlu dilakukan secara terus menerus setidaknya untuk mendorong pihak-pihak di luar anak jalanan agar menghentikan aksi-aksi kekerasan terhadap anak jalanan.

Pemberdayaan Anak Jalanan
 Sebenarnya anak jalanan tidak berbeda dengan anak yang lainnya, mereka juga mempunyai potensi dan bakat. Pada masa anak-anak seperti itu otak yang memuat 100-200 milyar sel otak siap dikembangkan serta diaktualisasikan untuk mencapai tingkat perkembangan potensi tertinggi. Pada perkembangan otak manusia mencapai kapasitas 50 % pada masa anak usia dini. Kita telah benar-benar mellupakan hak anak-anak untuk bermain, bersekolah, dan hidup sebagaimana lazimnya anak-anak lainnya. Mereka dipaksa orang tua untuk merasakan getirnya kehidupan. Mereka tumbuh dan berkembang dengan latar kehidupan jalanan dan akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negatif .
Pasal 9 ayat (1) UU no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak menyebutkan; “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya”. Pemenuhan pendidikan itu haruslah memperhatikan aspek perkembangan fisik dan mental mereka. Sebab, anak bukanlah orang dewasa yang berukuran kecil. Anak mempunyai dunianya sendiri dan berbeda dengan orang dewasa. Kita tak cukup memberinya makan dan minum saja, atau hanya melindunginya di sebuah rumah, karena anak membutuhkan kasih sayang. Kasih sayang adalah fundamen pendidikan. Tanpa kasih, pendidikan ideal tak mungkin dijalankan. Pendidikan tanpa cinta seperti nasi tanpa lauk,menjadi kering hambar, tak menarik.
Pendidikan pada hakekatnya bertujuan membentuk karakter anak menjadi anak yang baik. Khusus untuk anak jalanan pendidikan luar sekolah yang sesuai adalah dengan melakukan proses pembelajaran yang dilaksanakan dalam wadah rumah singgah.
Rumah singgah sebagai tempat pemusatan sementara yang bersifat non formal, dimana anak-anak bertemu untuk memperoleh informasi dan pembinaan awal sebelum dirujuk ke dalam proses pembinaan lebih lanjut .rumah singgah didefinisikan sebagai perantara anak jalanan dengan pihak-pihak yang akan membantu mereka. Rumah singgah merupakan proses non formal yang memberikan suasana pusat resosialisasi anak jalanan terhadap sistem nilai dan norma di masyarakat. Tujuan dibentuknya rumah singgah adalah resosialisasi yaitu membentuk kembali sikap dan prilaku anak yang sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku di masyarakat dan  memberikan pendidikan dini untuk pemenuhan kebutuhan anak dan menyiapkan masa depannya sehingga menjadi masyarakat yang produktif.
Peran dan fungsi rumah singgah bagi program pemberdayaan anak jalanan sangat penting. Secara ringkas fungsi rumah singgah antara lain : 1. Sebagai tempat perlindunga dari berbagai bentuk kekerasan yang kerap menimpa anak jalanan dari kekerasan dan prilaku penyimpangan seksual ataupun berbagai bentuk kekerasan lainnya. 2 Rehabilitasi, yaitu mengembalikan dan menanamkan fungsi sosial anak. 3 Sebagai akses terhadap pelayanan, yaitu sebagai persinggahan sementara anak jalanan dan sekaligus akses kepada berbagai pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan dll. Lokasi rumah singgah harus berada ditengah-tengah masyarakat agar memudahkan proses pendidikan dini, penanaman norma dan resosialisasi bagi anak jalanan.

Kesimpulan
-Jadi, upaya pemberdayaan anak-anak jalanan seyogyanya terus digalakkan melalui berbagai penyelenggaraan program pendidikan luar sekolah berupa kegiatan resosialisasi di Rumah Singgah. Perlu adanya kerjasama dari segala lapisan untuk bekerjasama menyukeskan program ini
- Pendidikan pada hakekatnya bertujuan membentuk karakter anak menjadi anak yang baik
- Kasih sayang adalah fundamen pendidikan. Tanpa kasih, pendidikan ideal      tak mungkin dijalankan

Sumber:
http://humanisclub.wordpress.com/2007/10/07/fenomena-anak-jalanan-sebuah-tragedi-zaman-ini/

Pengembangan Budaya Sekolah

Budaya sekolah adalah nilai-nilai dominan yang didukung oleh sekolah atau falsafah yang menuntun kebijakan sekolah terhadap semua unsur dan komponen sekolah termasuk stakeholders pendidikan, seperti cara melaksanakan pekerjaan di sekolah serta asumsi atau kepercayaan dasar yang dianut oleh personil sekolah. Budaya sekolah merujuk pada suatu sistem nilai, kepercayaan dan norma-norma yang diterima secara bersama, serta dilaksanakan dengan penuh kesadaran sebagai perilaku alami, yang dibentuk oleh lingkungan yang menciptakan pemahaman yang sama diantara seluruh unsur dan personil sekolah baik itu kepala sekolah, guru, staf, siswa dan jika perlu membentuk opini masyarakat yang sama dengan sekolah.
Pengembangan Budaya Sekolah
Beberapa manfaat yang bisa diambil dari upaya pengembangan budaya sekolah, diantaranya : (1) menjamin kualitas kerja yang lebih baik; (2) membuka seluruh jaringan komunikasi dari segala jenis dan level baik komunikasi vertikal maupun horisontal; (3) lebih terbuka dan transparan; (4) menciptakan kebersamaan dan rasa saling memiliki yang tinggi; (4) meningkatkan solidaritas dan rasa kekeluargaan; (5) jika menemukan kesalahan akan segera dapat diperbaiki; dan (6) dapat beradaptasi dengan baik terhadap perkembangan IPTEK. Selain beberapa manfaat di atas, manfaat lain bagi individu (pribadi) dan kelompok adalah :  (1) meningkatkan kepuasan kerja; (2) pergaulan lebih akrab; (3) disiplin meningkat; (4) pengawasan fungsional bisa lebih ringan; (5) muncul keinginan untuk selalu ingin berbuat proaktif; (6) belajar dan berprestasi terus serta; dan (7) selalu ingin memberikan yang terbaik bagi sekolah, keluarga, orang lain dan diri sendiri.
Upaya pengembangan budaya sekolah seyogyanya mengacu kepada beberapa prinsip berikut ini.
  1. Berfokus pada Visi, Misi dan Tujuan Sekolah. Pengembangan budaya sekolah harus senantiasa sejalan dengan visi, misi dan tujuan sekolah. Fungsi visi, misi, dan tujuan sekolah adalah mengarahkan pengembangan budaya sekolah. Visi tentang keunggulan mutu misalnya, harus disertai dengan program-program yang nyata mengenai penciptaan budaya sekolah.
  2. Penciptaan Komunikasi Formal dan Informal. Komunikasi merupakan dasar bagi koordinasi dalam sekolah, termasuk dalam menyampaikan pesan-pesan pentingnya budaya sekolah. Komunikasi informal sama pentingnya dengan komunikasi formal. Dengan demikian kedua jalur komunikasi tersebut perlu digunakan dalam menyampaikan pesan secara efektif dan efisien.
  3. Inovatif dan Bersedia Mengambil Resiko. Salah satu dimensi budaya organisasi adalah inovasi dan kesediaan mengambil resiko. Setiap perubahan budaya sekolah menyebabkan adanya resiko yang harus diterima khususnya bagi para pembaharu. Ketakutan akan resiko menyebabkan kurang beraninya seorang pemimpin mengambil sikap dan keputusan dalam waktu cepat.
  4. Memiliki Strategi yang Jelas. Pengembangan budaya sekolah perlu ditopang oleh strategi dan program. Startegi mencakup cara-cara yang ditempuh sedangkan program menyangkut kegiatan operasional yang perlu dilakukan. Strategi dan program merupakan dua hal yang selalu berkaitan.
  5. Berorientasi Kinerja. Pengembangan budaya sekolah perlu diarahkan pada sasaran yang sedapat mungkin dapat diukur. Sasaran yang dapat diukur akan mempermudah pengukuran capaian kinerja dari suatu sekolah.
  6. Sistem Evaluasi yang Jelas. Untuk mengetahui kinerja pengembangan budaya sekolah perlu dilakukan evaluasi secara rutin dan bertahap: jangka pendek, sedang, dan jangka panjang. Karena itu perlu dikembangkan sistem evaluasi terutama dalam hal: kapan evaluasi dilakukan, siapa yang melakukan dan mekanisme tindak lanjut yang harus dilakukan.
  7. Memiliki Komitmen yang Kuat. Komitmen dari pimpinan dan warga sekolah sangat menentukan implementasi program-program pengembangan budaya sekolah. Banyak bukti menunjukkan bahwa komitmen yang lemah terutama dari pimpinan menyebabkan program-program tidak terlaksana dengan baik.
  8. Keputusan Berdasarkan Konsensus. Ciri budaya organisasi yang positif adalah pengembilan keputusan partisipatif yang berujung pada pengambilan keputusan secara konsensus. Meskipun hal itu tergantung pada situasi keputusan, namun pada umumnya konsensus dapat meningkatkan komitmen anggota organisasi dalam melaksanakan keputusan tersebut.
  9. Sistem Imbalan yang Jelas. Pengembangan budaya sekolah hendaknya disertai dengan sistem imbalan meskipun tidak selalu dalam bentuk barang atau uang. Bentuk lainnya adalah penghargaan atau kredit poin terutama bagi siswa yang menunjukkan perilaku positif yang sejalan dengan pengembangan budaya sekolah.
  10. Evaluasi Diri. Evaluasi diri merupakan salah satu alat untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi di sekolah. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan curah pendapat atau menggunakan skala penilaian diri. Kepala sekolah dapat mengembangkan metode penilaian diri yang berguna bagi pengembangan budaya sekolah. Halaman berikut ini dikemukakan satu contoh untuk mengukur budaya sekolah.
Selain mengacu kepada sejumlah prinsip di atas, upaya  pengembangan budaya sekolah juga seyogyanya  berpegang pada asas-asas berikut ini:
  1. Kerjasama tim (team work). Pada dasarnya sebuah komunitas sekolah merupakan sebuah tim/kumpulan individu yang bekerja sama untuk mencapai tujuan. Untuk itu, nilai kerja sama merupakan suatu keharusan dan kerjasama merupakan aktivitas yang bertujuan untuk membangun kekuatan-kekuatan atau sumber daya yang dimilki oleh personil sekolah.
  2. Kemampuan. Menunjuk pada kemampuan untuk mengerjakan tugas dan tanggung jawab pada tingkat kelas atau sekolah. Dalam lingkungan pembelajaran, kemampuan profesional guru bukan hanya ditunjukkan dalam bidang akademik tetapi juga dalam bersikap dan bertindak yang mencerminkan pribadi pendidik.
  3. Keinginan. Keinginan di sini merujuk pada kemauan atau kerelaan untuk melakukan tugas dan tanggung jawab untuk memberikan kepuasan terhadap siswa dan masyarakat. Semua nilai di atas tidak berarti apa-apa jika tidak diiringi dengan keinginan. Keinginan juga harus diarahkan pada usaha untuk memperbaiki dan meningkatkan kemampuan dan kompetensi diri dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai budaya yang muncul dalam diri pribadi baik sebagai kepala sekolah, guru, dan staf dalam memberikan pelayanan kepada siswa dan masyarakat.
  4. Kegembiraan (happiness). Nilai kegembiraan ini harus dimiliki oleh seluruh personil sekolah dengan harapan kegembiraan yang kita miliki akan berimplikasi pada lingkungan dan iklim sekolah yang ramah dan menumbuhkan perasaan puas, nyaman, bahagia dan bangga sebagai bagian dari personil sekolah. Jika perlu dibuat wilayah-wilayah yang dapat membuat suasana dan memberi nuansa yang indah, nyaman, asri dan menyenangkan, seperti taman sekolah ditata dengan baik dan dibuat wilayah bebas masalah atau wilayah harus senyum dan sebagainya.
  5. Hormat (respect). Rasa hormat merupakan nilai yang memperlihatkan penghargaan kepada siapa saja baik dalam lingkungan sekolah maupun dengan stakeholders pendidikan lainnya. Keluhan-keluhan yang terjadi karena perasaan tidak dihargai atau tidak diperlakukan dengan wajar akan menjadikan sekolah kurang dipercaya. Sikap respek dapat diungkapkan dengan cara memberi senyuman dan sapaan kepada siapa saja yang kita temui, bisa juga dengan memberikan hadiah yang menarik sebagai ungkapan rasa hormat dan penghargaan kita atas hasil kerja yang dilakukan dengan baik. Atau mengundang secara khusus dan menyampaikan selamat atas prestasi yang diperoleh dan sebagaianya.
  6. Jujur (honesty). Nilai kejujuran merupakan nilai yang paling mendasar dalam lingkungan sekolah, baik kejujuran pada diri sendiri maupun kejujuran kepada orang lain. Nilai kejujuran tidak terbatas pada kebenaran dalam melakukan pekerjaan atau tugas tetapi mencakup cara terbaik dalam membentuk pribadi yang obyektif. Tanpa kejujuran, kepercayaan tidak akan diperoleh. Oleh karena itu budaya jujur dalam setiap situasi dimanapun kita berada harus senantiasa dipertahankan. Jujur dalam memberikan penilaian, jujur dalam mengelola keuangan, jujur dalam penggunaan waktu serta konsisten pada tugas dan tanggung jawab merupakan pribadi yang kuat dalam menciptakan budaya sekolah yang baik.
  7. Disiplin (discipline). Disiplin merupakan suatu bentuk ketaatan pada peraturan dan sanksi yang berlaku dalam lingkungan sekolah. Disiplin yang dimaksudkan dalam asas ini adalah sikap dan perilaku disiplin yang muncul karena kesadaran dan kerelaan kita untuk hidup teratur dan rapi serta mampu menempatkan sesuatu sesuai pada kondisi yang seharusnya. Jadi disiplin disini bukanlah sesuatu yang harus dan tidak harus dilakukan karena peraturan yang menuntut kita untuk taat pada aturan yang ada. Aturan atau tata tertib yang dipajang dimana-mana bahkan merupakan atribut, tidak akan menjamin untuk dipatuhi apabila tidak didukung dengan suasana atau iklim lingkungan sekolah yang disiplin. Disiplin tidak hanya berlaku pada orang tertentu saja di sekolah tetapi untuk semua personil sekolah tidak kecuali kepala sekolah, guru dan staf.
  8. Empati (empathy). Empati adalah kemampuan menempatkan diri atau dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain namun tidak ikut larut dalam perasaan itu. Sikap ini perlu dimiliki oleh seluruh personil sekolah agar dalam berinteraksi dengan siapa saja dan dimana saja mereka dapat memahami penyebab dari masalah yang mungkin dihadapai oleh orang lain dan mampu menempatkan diri sesuai dengan harapan orang tersebut. Dengan sifat empati warga sekolah dapat menumbuhkan budaya sekolah yang lebih baik karena dilandasi oleh perasaan yang saling memahami.
  9. Pengetahuan dan Kesopanan. Pengetahuan dan kesopanan para personil sekolah yang disertai dengan kemampuan untuk memperoleh kepercayaan dari siapa saja akan memberikan kesan yang meyakinkan bagi orang lain. Dimensi ini menuntut para guru, staf dan kepala sekolah tarmpil, profesional dan terlatih dalam memainkan perannya memenuhi tuntutan dan kebutuhan siswa, orang tua dan masyarakat.
  10. =================

Sumber adaptasi dari: Direktorat Tenaga Kependidikan Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional.2007. Pengembangan Budaya dan Iklim Pembelajaran di Sekolah (materi diklat pembinaan kompetensi calon kepala sekolah/kepala sekolah). Jakarta.

Pendidikan Karakter

Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.
Lebih dari itu, pedagogi puerocentris lewat perayaan atas spontanitas anak-anak (Edouard Claparède, Ovide Decroly, Maria Montessori) yang mewarnai Eropa dan Amerika Serikat awal abad ke-19 kian dianggap tak mencukupi lagi bagi formasi intelektual dan kultural seorang pribadi.
Polemik anti-positivis dan anti-naturalis di Eropa awal abad ke-19 merupakan gerakan pembebasan dari determinisme natural menuju dimensi spiritual, bergerak dari formasi personal dengan pendekatan psiko-sosial menuju cita-cita humanisme yang lebih integral. Pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme ala Comte.
Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.

Empat karakter
Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter. 
Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Kematangan keempat karakter ini, lanjut Foerster, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas. ”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.” Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.

Pengalaman Indonesia
Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi relevan untuk diterapkan.
Pendidikan karakter ala Foerster yang berkembang pada awal abad ke-19 merupakan perjalanan panjang pemikiran umat manusia untuk mendudukkan kembali idealisme kemanusiaan yang lama hilang ditelan arus positivisme. Karena itu, pendidikan karakter tetap mengandaikan pedagogi yang kental dengan rigorisme ilmiah dan sarat muatan puerocentrisme yang menghargai aktivitas manusia.
Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat. Pedagogi aktif Deweyan baru muncul lewat pengalaman sekolah Mangunan tahun 1990-an.
Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.

Loncatan sejarah
Apakah mungkin sebuah loncatan sejarah dapat terjadi dalam tradisi pendidikan kita? Mungkinkah pendidikan karakter diterapkan di Indonesia tanpa melewati tahap-tahap positivisme dan naturalisme lebih dahulu?
Pendidikan karakter yang digagas Foerster tidak menghapus pentingnya peran metodologi eksperimental maupun relevansi pedagogi naturalis Rousseauian yang merayakan spontanitas dalam pendidikan anak-anak. Yang ingin ditebas arus ”idealisme” pendidikan adalah determinisme dan naturalisme yang mendasari paham mereka tentang manusia.
Bertentangan dengan determinisme, melalui pendidikan karakter manusia mempercayakan dirinya pada dunia nilai (bildung). Sebab, nilai merupakan kekuatan penggerak perubahan sejarah. Kemampuan membentuk diri dan mengaktualisasikan nilai-nilai etis merupakan ciri hakiki manusia. Karena itu, mereka mampu menjadi agen perubahan sejarah.
Jika nilai merupakan motor penggerak sejarah, aktualisasi atasnya akan merupakan sebuah pergulatan dinamis terus-menerus. Manusia, apa pun kultur yang melingkupinya, tetap agen bagi perjalanan sejarahnya sendiri. Karena itu, loncatan sejarah masih bisa terjadi di negeri kita. Pendidikan karakter masih memiliki tempat bagi optimisme idealis pendidikan di negeri kita, terlebih karena bangsa kita kaya akan tradisi religius dan budaya.
Manusia yang memiliki religiusitas kuat akan semakin termotivasi untuk menjadi agen perubahan dalam masyarakat, bertanggung jawab atas penghargaan hidup orang lain dan mampu berbagi nilai-nilai kerohanian bersama yang mengatasi keterbatasan eksistensi natural manusia yang mudah tercabik oleh berbagai macam konflik yang tak jarang malah mengatasnamakan religiusitas itu sendiri.

Apakah Pendidikan Luar Sekolah Itu?

Pendidikan luar sekolah (bahasa Inggris: Out of school education) adalah pendidikan yang dirancang untuk membelajarkan warga belajar agar mempunyai jenis keterampilan dan atau pengetahuan serta pengalaman yang dilaksanakan di luar jalur pendidikan formal (persekolahan).

Karakteristik pendidikan luar sekolah

  1. Pendidikan Luar Sekolah sebagai Subtitute dari pendidikan sekolah. Artinya, bahwa pendidikan luar sekolah dapat menggantikan pendidikan jalur sekolah yang karena beberapa hal masyarakat tidak dapat mengikuti pendidikan di jalur persekolahan (formal). Contohnya: Kejar Paket A, B dan C
  2. Pendidikan Luar Sekolah sebagai Supplement pendidikan sekolah. Artinya, bahwa pendidikan luar sekolah dilaksanakan untuk menambah pengetahuan, keterampilan yang kurang didapatkan dari pendidikan sekolah. Contohnya: private, les, training
  3. Pendidikan Luar Sekolah sebagai Complement dari pendidikan sekolah. Artinya, bahwa pendidikan luar sekolah dilaksanakan untuk melengkapi pengetahuan dan keterampilan yang kurang atau tidak dapat diperoleh di dalam pendidikan sekolah. Contohnya: Kursus, try out, pelatihan dll
Banyak jenis pendidikan luar sekolah, khususnya yang berupa kursus-kursus, yang merupakan lahan kegiatan yang didominasi oleh perempuan. Sebagai contoh dapat disebutkan kursus-kursus menjahit dan memasak. Di luar itu juga terdapat kegiatan-kegiatan pelatihan di bidang-bidang khusus, seperti menenun dengan teknik dan penggunaan ragam-ragam hias tradisional, yang dipimpin oleh ibu-ibu. Kegiatan pelestarian seni dan teknik tradisi yang semula sangat 'domestik' itu kini banyak ditransformasikan menjadi kegiatan publik, di mana peserta pelajaran menenun itu, misalnya, adalah wanita-wanita muda dari manapun, tidak perlu harus anak atau sanak dari si ibu yang merupakan nara sumber. Pendidikan luar sekolah dapat bersifat non-formal, dalam arti tidak menggunakan struktur persekolahan dan kurikulum yang ketat, meskipun suatu sasaran tertentu ada ditetapkan. Contohnya adalah Kejar Paket A dan Kejar Paket B, serta kursusu-kursus yang mempunyai bahan ajar yang disusun secara terencana. Pada akhir kegiatan yang demikian itu biasa diberikan tanda selesai mengikuti paket atau kursus yang bersangkutan. Di samping itu dapat juga suatu kegiatan pendidikan "luar sekolah" bersifat informal, atau 'tidak resmi', yaitu yang sama sekali tidak diikat oleh kurikulum yang ketat dan para pelakunya pun cenderung bersifat sukarela. Modus seperti ini banyak terdapat dalam upaya-upaya penerusan ilmu, kemahiran, dan atau ketrampilan dalam hal yang secara kategorik dapat disebut ekspresi folklor dan atau pengetahuan tradisional (traditional knowledge). Dalam penerusan jenis-jenis pengetahuan tertentu peranan wanita dominan, misalnya dalam peracikan obat-obatan tradisional, dalam perawatan kesehatan dan kecantikan, serta dalam perawatan bayi. Penyampaian pengetahuan modern mengenai kesehatan ibu dan anak pun biasanya dilakukan secara informal. Demikian juga mengenai tujuan-tujuan lain, seperti meningkatkan penghasilan keluarga, pencegahan penyakit secara umum, dll. Berbagai aktivitas dalam rangka organisasi PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga) merupakan contoh dari pendidikan jenis ini.
Pendidikan Masyarakat lewat Media Massa Suatu aspek pendidikan yang juga amat penting adalah pendidikan masyarakat lewat media massa. Hal-hal yang disampaikan melalui berbagai jenis media massa itu, yaitu media cetak, radio, dan televisi, seringkali pada pandangan pertama dilihat sebagai semata-mata informasi (khususnya berita) dan hiburan. Namun sebenarnya perlu disadari oleh semua pihak bahwa apapun yang disampaikan melalui media massa itu akan mempunyai efek 'mendidik'. Maksudnya "mendidik" adalah dapat mengubah pemikiran, pandangan, sikap, maupun pemihakan (terhadap atau mengenai sesuatu) pada diri para konsumen yang menerima pesan-pesan melalui media massa tersebut.
Dalam bidang 'pendidikan' melalui media massa ini pria dan wanita mempunyai peluang peran yang sama pada sisi pemancar dan pengelolanya. Namun pada sisi penerima, ibu-ibu yang mengasuh anak-anaknya di rumah mempunyai peluang lebih besar untuk memberikan panduan dalam menyerap informasi ataupun rangsangan yang disampaikan melalui media massa tersebut. Dalam hal ini ibu-ibu, atau siapapun yang berperan sebagai ibu di rumah, diharapkan dapat melatih anak-anaknya (atau warga rumahnya secara umum) agar pandai membedakan mana yang berguna dan mana yang merusak bagi suatu kehidupan manusiawi yang bermartabat. Tantangan yang harus dihadapi adalah bahwa sifat hiburan dari suatu siaran itu seringkali dapat dengan mudah menggusur nilai manfaat yang memuliakan manusia.

Pemda Diminta Tindak Pungutan PSB

Lagi musim Penerimaan Siswa Baru nih. Atau yang biasa disingkat dengan PSB. Banyak orang tua yang sibuk nyariin sekolah buat anaknya. Ngomongin soal PSB, pasti berkaitan sama yang namanya biaya. Tapi........

Sekolah-sekolah negeri, khususnya jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), dilarang memungut biaya kepada orang tua murid saat penerimaan siswa baru (PSB). Alasannya, menurut Wakil Mendiknas Fasli Jalal, jenjang SD dan SMP masuk ke dalam program wajib belajar sembilan tahun. “Untuk wajib belajar di sekolah negeri, itu tidak boleh ada pungutan-pungutan awal. Sekolah-sekolah negeri tidak boleh dengan alasan apapun untuk memungut biaya di saat penerimaan murid baru. Itu sudah ditekankan oleh Mendiknas. Jadi wajib dibebaskan biaya di sekolah negeri,” tegas Fasli di Gedung Kemdiknas, Jakarta.

Mantan Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) Kemdiknas ini menerangkan, jika pungutan liar itu tetap terjadi di lapangan, maka yang wajib bertindak adalah pemerintah daerah setempat. “Pemda sudah diberikan kewajiban untuk menindak sekolah-sekolah yang melanggar aturan tersebut. Pemerintah kan juga sudah menyusun koridor-koridornya seperti apa. Itu sudah jelas semua,” tukasnya.

Dijelaskan, pembiayaan di sekolah-sekolah negeri sudah memiliki standar tersendiri seperti diatur di PP. Fasli menyebutkan, standar pendidikan nasional tersebut meliputi, standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar evaluasi, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar sarana dan prasarana.

Mengenai pungutan biaya pendidikan di sekolah swasta, Fasli mengungkapkan, tindakan tersebut memang tidak dilarang. Pasalnya, kepemilikikan sekolah swasta bukan milik negara. Bahkan, biaya pembangunan gedung hingga membayar gaji guru dilakukan sendiri tanpa bantuan pemerintah. “Dengan pertimbangan itulah, pemerintah membolehkan mereka untuk memungut biaya kepada siswanya,” imbuhnya.

Fasli menambahkan, aturan mengenai pungutan biaya penerimaan siswa baru tersebut saat ini telah selesai dibahas. Bahkan, lanjut Fasli, Kemdiknas sudah menyusun Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) mengenai pungutan tersebut. “Kami sudah membahas hal ini. Bahkan tidak lama lagi aturan ini akan keluar, tapi saya tidak tahu kapan tepatnya. Tapi sudah selesai,” ucapnya.

So, buat sekolah-sekolah SD dan SMP dilarang mungut biaya saat PSB karena memang udah ada aturan tegas dari pemerintah,^^

Jumat, 01 Juli 2011

Kuliah di Luar Negeri?

Memang menyenangkan bagi kamu yang berkesempatan kuliah di luar negeri. Banyak pengalaman baru yang akan didapat. Tetapi, sebelum memutuskan melanjutkan studi di luar negeri, pertimbangkan beberapa hal berikut, seperti dilansir BBC.

Apakah gelarmu diakui di negara tujuan?

Sebelum meneruskan kuliah di kampus asing, pastikan gelar yang sudah kamu terima di Tanah Air diakui di kampus tujuanmu.

Rencanakan keuangan

Buatlah perencanaan keuangan dengan detail, pertimbangkan juga kurs mata uang yang akan kamu pakai dengan rupiah. Siapkan juga cadangan untuk biaya keperluan yang tidak terduga. Bisa saja kamu ingin berlibur ketika di tempat baru, kan?

Asuransi kesehatan
Beberapa negara menawarkan asuransi kesehatan. Tapi kamu mungkin perlu juga menyiapkan asuransi kesehatan yang tidak dikelola pemerintah.

Imigrasi
Pastikan kamu memiliki paspor yang masih berlaku dalam dua tahun. Jangan lupa pula untuk memperpanjang visamu.

Tempat tinggal
Rencanakan tempat tinggalmu untuk tahun pertama kuliah, dan berapa biaya yang kamu butuhkan. Jangan malas mencari tahu dan membahas berbagai kemungkinan tempat tinggal.

Kelola keuangan
Kebanyakan, membuka rekening mahasiswa di sebuah negara adalah pilihan paling mudah. Tapi, kamu akan membutuhkan alamat tinggal di negara tujuan ketika akan membuka satu rekening. Jangan lupa untuk mengecek tarif internasional untuk biaya kartu ATM dan transfer.   

Persiapkan administrasi
Pastikan kamu telah membawa semua dokumen yang dibutuhkan seperti akta kelahiran, ijazah, dan transkrip nilai. Buatlah beberapa kopi atas semua dokumen tersebut, serta selalu sedia pasfoto.

Komunikasi
Cari cara paling efektif dan efisien untuk tetap berhubungan dengan keluarga di Tanah Air. Kamu bisa membuat akun Skype dan memperbaharui pengaturan roaming di ponselmu.

Mahasiswa Hanya Mengejar Gelar

Melihat realitas yang terjadi, khususnya di kalangan perguruan tinggi, mayoritas mahasiswa masih belum mampu memahami identitas sosialnya. Yakni, sebagai generasi dengan sikap progresif dan militansi cukup signifikan untuk mendorong perubahan masyarakat.

Kebanyakan mahasiswa hanya sibuk dengan tugas yang diberikan oleh dosen. Mereka jarang terlibat kegiatan-kegiatan di masyarakat, sehingga tidak mengerti perkembangan di masyarakat itu sendiri.

Mahasiswa harus mampu menyeimbangkan diri terhadap kondisi sosial masyarakat, sehingga kegiatan di kampus tidak semata-mata kuliah  dan kemudian pulang mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dosen. Di balik itu semua, mahasiswa mempunyai tugas dan peran yang penting dalam masyarakat, terutama untuk kemajuan negara Indonesia.

Fakta yang terjadi di kalangan mahasiswa sekarang sangat berlawanan dengan pandangan masyarakat pada umumnya, tidak memiliki harkat dan martabat tinggi. Karena masih banyak lulusan mahasiswa yang sulit mencari kerja dan bertindak anarkis yang kurang mencermikan agen perubahan.

Pembangunan idealisme akan kesadaran kritis bukanlah yang bersifat progresif terhadap realitas. Peran mahasiswa sebagai kaum intelektual sudah terdegradasi. Padahal mahasiswa adalah harapan rakyat sebagai regenerasi muda bangsa Indonesia. Akan tetapi, apa yang diinginkan oleh mahasiswa tidak sejalan dengan keinginan rakyat, bahkan rakyat menilai jika mahasiswa itu hanya bisa bertindak anarkis saja.

Sebagian besar mahasiswa di era sekarang ini, hanya mengejar gelar. Mahasiswa seakan-akan tidak peduli dengan segala kebutuhan masyarakat tehadap pemerintah. Hanya segelintir mahasiswa yang masih mau menyalurkan amanat dari masyarakat dengan cara yang baik.

Selain itu mahasiswa sekarang yang mengalami degradasi, baik dari segi intelektualisme, idealisme, patriotisme, maupun semangat jati diri mereka, cenderung untuk berpikir pragmatis dalam menghadapi persoalan. Hal tersebut terjadi karena pengaruh budaya barat yang tidak terkendali telah meracuni pemuda dan mahasiswa.

Kesimpulannya adalah peran mahasiswa sangat besar, namun mereka kurang sadar akan hal tersebut, sehingga mereka hanya dengan mudahnya menyelesaikan persoalan menggunakan emosi. Lepas dari pandangan buruk tentang mahasiswa, masih banyak mahasiswa yang menggunakan intelektualnya untuk ikut serta membangun masyarakat.

Sumber:

http://kampus.okezone.com/read/2011/06/20/95/470347/mahasiswa-hanya-mengejar-gelar

PTN atau PTS, yang Penting Pemikirannya

DEWASA ini Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi tujuan utama para lulusan sekolah menengah atas (SMA). Menurut mereka, PTN dianggap memiliki peluang besar dalam dunia kerja di masa depan. Namun, tak jarang pula, banyak di antara para lulusan SMA ini memilih Perguruan Tinggi Swasta (PTS), dikarenakan sulitnya berkompetisi mendapatkan kursi PTN, ada juga yang merasa minder.

Yang menjadi pertanyaan kita sekarang adalah, apakah dengan masuknya seseorang ke dalam PTN maupun PTS akan membuat dia handal serta memiliki kualitas dan kemampuan yang baik secara intelektual maupun keterampilannya, sehingga mampu meraih prestasi dalam dunia kerja kelak?

Sebenarnya, bagus tidaknya kualitas seseorang, khususnya mahasiswa, bukan dipengaruhi oleh PTN ataupun PTS yang ada. Karena, yang menjadikan seseorang itu berkuliatas atau tidak adalah pemikirannya. Seseorang yang mampu berpikir maju, kemudian mampu pula menyesuaikan antara pemikirannya itu dengan kemampuan dasar yang dia miliki. Dengan begitu, dia akan menciptakan kemampuan yang berkualitas

Kemampuan seperti ini tidak mungkin ada di dalam kurukulum perkuliahan. Jadi, walaupun dia masuk ke dalam PTS yang tidak terkenal sekalipun, namun jika seseorang memiliki pemikiran yang berkualitas, maju, dan mampu untuk menjadikan dirinya lebih baik, maka tak sulit baginya untuk meraih prestasi dalam dunia kerja.

Memang benar apabila kita berpikir untuk meraih prestasi kerja di berbagai perusahaan. Tak jarang, perusahaan lebih mendahulukan lulusan-lulusan PTN daripada PTS. Tidak sedikit pula yang lebih mendahulukan keterampilan dan kemampuan. Tetapi perlu kita renungkan bahwa keterampilan berpikirlah yang kelak akan menjadikan seseorang mampu untuk mendapatkan prestasi kerja, bahkan kemampuan berpikir maju dapat menciptakan pekerjaan baru.
   
Pilihan Tepat

SNMPTN memiliki peranan penting bagi PTN dalam memilih bibit-bibit unggul yang tentunya kelak dapat memiliki peranan besar dalam dunia kerja. Meski begitu, masih banyak jalan lain untuk masuk ke berbagai PTN di Indonesia.
 
Silahkan pilih perguruan tinggi yang disukai, baik itu PTN ataupun PTS. Tetapi yang perlu dirasa dan diperhatikan oleh para calon mahasiswa adalah memilih jurusan yang tepat. Ketika akan memilih jurusan kuliah, hendaknya para calon mahasiswa memperhatikan dua hal berikut; pertama, pilihlah jurusan yang sesuai kehendak hati. Ini penting, mengingat banyak sekali  calon mahasiswa yang memilih bukan berdasarkan kehendak mereka. Jika ini terjadi, bukan tidak mungkin perkuliahan mereka nantinya terganggu.

Kedua, pilih jurusan sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki. Sebab, jurusan yang sesuai dengan kemampuan dasar seseorang akan menciptakan keseimbangan. Kuliah pun akan lebih nyaman.

Sebaliknya, apabila yang dipilih tidak sesuai dengan kemampuan dasar, maka akan menyebabkan ketidaknyamanan dalam perkuliahan. Jika ini terjadi, kuliah pun hanya akan menjadi kewajiban. Akibatnya, ilmu yang didapat tidak akan maksimal, hal-hal seperti inilah yang mempersulit lulusan perguruan tinggi di dunia kerja.

Pergunakanlah fasilitas yang ada untuk masuk ke perguruan tinggi, baik itu SMPTN, PMB, dan lain sebagainya. Serta pilihlah penjurusan yang sesuai dengan kehendak dan kemapuan dasar yang dimiliki, sehingga perkuliahan yang dilakukan akan menciptakan lulusan-lulusan yang berkualitas dengan pemikiran maju. PTN atau PTS tidak masalah, yang penting pemikirannya. 

Sumber:
http://kampus.okezone.com/read/2011/07/01/367/474682/ptn-atau-pts-yang-penting-pemikirannya

Lolos SNMPTN, Peserta Bayar Nazar

Berhasil lolos Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2011 bukan merupakan hal mudah, mengingat begitu tingginya tingkat persaingan di antara para pelajar dari penjuru Nusantara. Keberhasilan menembus lubang jarum tersebut pun menimbulkan rasa bangga tersendiri bagi peserta.
Hal ini yang tengah dirasakan Tasha, karena mendapati namanya terdaftar sebagai salah satu peserta yang berhasil menembus SNMPTN. Siswi lulusan SMA Pembangunan Jaya, Bintaro, ini mengaku sangat senang karena berhasil menembus SNMPTN.

“Alhamdulillah saya diterima di Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB). Itu pilihan pertama saya,” kata Tasha ketika dihubungi okezone, Kamis (30/6/2011).

Sebagai bentuk rasa syukurnya karena telah lolos SNMPTN, Tasha berencana mengadakan syukuran dengan mengundang sejumlah anak yatim. “Dari awal memang berniat mengundang anak yatim kalau lolos SNMPTN. Sekarang saatnya bayar nazar,” ujar gadis ramah ini.

Hal serupa juga diungkapkan peserta SNMPTN lainnya yang berhasil lolos seleksi. “Saya punya nazar mau umroh kalau lolos SNMPTN,” ujar Bagus.

Dia diterima sebagai mahasiswa fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (UB), Malang. Rasa senang ternyata tidak hanya dialami Bagus, tapi juga kedua orangtuannya. “Orangtua saya juga ikut senang dan bangga, tapi sekarang jadi bingung untuk memikirkan tempat kos dan sebagainya,” ujar Bagus sambil tertawa.

Hasil SNMPTN 2011 telah diumumkan sejak tadi malam mulai pukul 19.00 WIB melalui beberapa situs yang disediakan serta sejumlah media cetak terbitan pagi ini. Dari 540.953 peserta SNMPTN, 118.233 di antaranya dinyatakan berhak masuk ke 60 PTN di Indonesia.

Sumber:
http://kampus.okezone.com/read/2011/06/30/373/474245/lolos-snmptn-peserta-bayar-nazar

Lolos dari Lubang Jarum

Ratusan ribu peserta Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2011 mengecek hasil ujian mereka. Dari total 540.943 peserta ujian tulis SNMPTN, 118.233 di antaranya dinyatakan lulus. Ibarat seleksi lubang jarum, SNMPTN menyaring hanya sekira 21 persen calon mahasiswa yang berhak menempuh pendidikan di 60 kampus perguruan tinggi negeri (PTN) di seluruh Indonesia.

Para mahasiswa baru ini akan belajar di ratusan program studi (prodi) yang ditawarkan kampus-kampus tersebut. Dari jumlah yang lulus itu, 56.856 di antaranya mengambil prodi pada kelompok Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), dan 61.377 meminati jurusan di kelompok Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).

Ke-60 kampus menyediakan daya tampung 119.041 kursi. Ini berarti, ada 808 bangku kosong. Meski jumlah tersebut jauh menurun dibandingkan tahun lalu, yang mencapai sekira 4.000 bangku kosong, fakta ini menunjukkan masih ada anggapan prodi tertentu favorit dan lebih baik dari prodi lainnya.

Selain itu, tahun ini, ada sekira 150 ribu siswa cerdas yang tidak berhasil lulus SNMPTN. Mereka meraih nilai tinggi pada ujian tulis SNMPTN akhir Mei lalu. Namun, karena pilihan prodi mereka mengikuti persepsi jurusan populer dan populer tadi, impian duduk di bangku PTN idaman pun pupus.

Mereka yang tidak lulus dan masih meminati PTN bisa menempuh ujian mandiri yang diselenggarakan berbagai kampus negeri usai pelaksanaan SNMPTN. Ada juga yang memilih menunggu sembari kembali mengikuti bimbingan intensif untuk mempersiapkan diri sebagai peserta SNMPTN tahun depan. Namun, tidak sedikit pula yang menjatuhkan pilihan pada perguruan tinggi swasta (PTS), mengingat kualitas PTN dan PTS saat ini tidak jauh berbeda.

Kebahagiaan yang dirasakan para lulusan SNMPTN sebaiknya tidak lantas berlarut dalam euforia. Begitu pula mereka yang tidak lulus. Kekecewaan sebaiknya tidak melarutkan semangat untuk menempuh pendidikan pada jenjang lebih tinggi. Kini, saatnya menyusun rencana dan meraih cita-cita. Selamat !